Sejak sebelum menikah sedikit banyak saya sudah terpapar dengan dunia parenting dan isu-isu perkembangan anak, karna memang sebagian teman sudah ibu-ibu dan suka share tulisan dunia peribuan yang kadang membuat saya penasaran hihi
Semakin berkembangnya era digital, semakin banyak pula muncul para pakar maupun artikel yang beredar di dunia maya. Positifnya, kita menjadi lebih teredukasi, kalau jaman dahulu kita harus keluar rumah untuk dapat belajar, nahh sekarang hanya dengan online di handphone pun kita sudah bisa mendapatkan banyak ilmu baru.
Namun disadari atau tidak, dengan banyaknya ibu yang aware akan perkembangan diri dan keluarga tidak jarang merekapun mulai menciptakan standar apa-apa yang harus dicapai dan dilakukan. Yang secara tidak langsung turut mempengaruhi standar ibu lain. Pun dengan saya, sejak menikah saya mulai lebih banyak mencari tahu, follow ibu-ibu yang juga sharing perkembangan anaknya, tips-tips kehamilan, dan semua serba serbi mendidik anak. Pokoknya pas saya tahu saya hamil, langsung deh, otak saya semacam menset kurikulum dalam pola asuh keluarga.
Tapi ternyata dalam perjalanannya, sungguh semua tidak semudah yang dibayangkan. πππ
24 bersama dengan bayi, tanpa pengasuh dan art membuat mood naik turun. Lelah fisik karena urusan domestik yang tidak ada ujungnya semakin diperparah dengan mendapati ibu-ibu lain bisa sukses dengan pola asuhnya, anaknya makannya banyak, masih bisa aktif berkarya, membersamai anak seolah tenaga tidak pernah ada habisnya.
Sungguh saya pernah berada diambang depresii! πππ
Segala skenario yang saya rancang bubar jalan, saya pun berusaha untuk tetap tenang, tapi menjadi sering sekali menyalahkan diri sendiri, kalau anak susah makan, saya jadi blaming pasti karna saya tidak kreatif. Kalau rumah berantakan, sayapun blaming pasti karna aku kurang rajin, itu tetangga ngurus anak juga tapi rumah selalu kinclong. Duarrrrrr saya benar benar down!
Dan pada saat itu saya menjadi kehilangan kendali untuk bisa bersikap manis pada anak saya. Saya jadi mudah sekali emosi tatkala menghadapinya. Dan suami pun ikut merasakan energi negatif itu. Sampai pada akhirnya saya menyadari bahwa ini salah. Tidak ada gunanya saya mengejar semua standar dan ekspektasi yang saya buat kalau pada akhirnya hanya menyakiti diri sendiri dan orang lain.
Saya pun berniat untuk berubah. Saya mencoba mencari bacaan-bacaan yang lebih menenangkan, sedikit mengurangi artikel-artikel yang kiranya memicu konflik batin, setidaknya sampai batin saya tenang. Lebih banyak berkomunikasi dengan pasangan. Mencoba sharing dengan teman hanya untuk menegaskan bahwa ternyata kita tidak sendirian. Mencoba mengatakan pada diri sendiri bahwa pasti mereka juga pernah mengalami semua keruwetan-keruwetan itu. Dan meminta pasangan untuk terus mengingatkan jika saya sudah mulai out of control.
Tapi semua itu tiada artinya tanpa ada kontrol dari dalam diri ya bu. Karna sejatinya yang bisa menyembuhkan adalah diri kita sendiri. Pelan pelan sayapun mulai menyelami kembali apa tujuan saya sebenarnya, apakah semua itu benar-benar untuk kebaikan saya, dan anak saya? atau hanya kebaikan dari ‘pandangan orang’.
Saya mencoba memakai ‘kacamata’ baru! Dan berhenti berjalan menggunakan ukuran ‘sepatu’ orang lain.
Bersihkan hati dan cintailah diri anda buuu π
Sibuk dengan menyuguhkan yang terbaik untuk anak dan pasangan terkadang kita lupa untuk menyuguhkan yang terbaik untuk diri kita sendiri, dan saat kita sudah lelah maka semuanya menjasdi terasa salah.
Maka cintailah apapun diri ibu. Tuhan tidak mungkin salah memilih ibu. Cucian yang menumpuk, baju bergelantungan yang belum tersetrika, rumah yang entah sudah semirip apa dengan kapal terdampar, cobalah sesekali untuk menjadi pemalas, dan membiarkan semuanya tetap apa adanya, tanpa ibu harus berusaha keras merubahnya.
Sadarilah jika ibu memang sudah lelah, sadarilah jika ibu memang bukan super woman, sadarilah jika diam dan tidak melakukan atau memikirkan apa-apa walau hanya #5menitsaja sudah cukup mengistirahatkan jiwa ibu.
Ijinkanlah semua rasa itu hadir, ijinkanlah ketidaksempurnaan itu menjadi kekonyolan yang patut ditertawai oleh diri sendiri. You know #thebeautyofimperfection if u can laugh it loud. Lepaskan.
Lepaskan semua ekpektasi dan standar, yang entah diri pribadi atau orang lain ciptakan. Biarkan saja mereka asi dan ibu memilih sufor, biarkan saja mereka lahiran normal dan ibu cecar, biarkan saja mereka memasak tiga macam menu makan lengkap dengan cemilan homemade sementara ibu hanya sempat membeli makanan siap saji di warteg komplek, biarkan saja mereka membuat mainan ini itu sementara ibu harus mengajak anak nonton tivi hanya agar tubuh ibu bisa beristirahat atau sekedar menikmati secuil gorengan dengan tenang. π
Lepaskan semua rasa bersalah ibu, biarkan ia hanya menjadi sebuah rasa tanpa boleh bisa mempengaruhi pikiran ibu. Lepaskan semua idealisme. Berhenti menghitung kekurangan ibu, dan mulailah fokus pada begitu banyak pencapaian yang telah ibu lakukan, karna kesehatan mental ibu jauh lebih penting. Lakukanlah hal-hal yang membuat ibu bahagia dan maafkanlah hal-hal yang membuat diri ibu merasa bersalah π
Maka saat ibu tahu bahwa menjadi tidak sempurna adalah wajar, ibu akan menjadi lebih bahagia. Karna anak dan suami kita tidak butuh ibu yang sempurna, namun ibu yang bahagia dan selalu hadir menularkan energi positifnya β€
#ilovemyimperfection
Yuk tularkan energi positifmu bersama penerbit bentang dan majalah nova
Siapa tahu ceritamu bisa membantu mengangkat beban ibu-ibu di luar sana π